Sabtu, 23 Oktober 2010

LE MAYEUR & NI POLLOK : Lukisan Impresionis Cinta dan Kehidupan



Pantai Sanur yang hangat pernah menjadi saksi keindahan cinta pelukis impresionis Andrien Jean Le Mayeur dengan seorang penari Bali, Ni Nyoman Pollok. Kisah mereka seakan menjadi legenda cinta yang tetap hidup sampai detik ini dalam ingatan, cerita, dan imajinasi yang terekam jelas dalam lukisan-lukisan Le Mayeur ....


Bagi seorang impresionis, Le Mayeur sangat mengagungkan tiga hal dalam hidupnya, yaitu : keindahan, sinar matahari, dan keheningan. Semangat sebagai musafir pelukis, menyebabkan ia berpetualang mencari obsesi hidup dengan menjelajah tempat-tempat eksotik di belahan dunia. Perancis, Italia, Maroko, Tunisia, Aljazair, India, Thailand, Kamboja, dan Tahiti telah dijejakinya. Terlahir sebagai bangsawan anggota kerajaan Belgia dan berpendidikan insinyur sipil politeknik di Libre University, Brussel, tidak menyurutkan minatnya menjadi pelukis. Hal yang sebenarnya sangat ditentang keras oleh sang ayah. Tetapi ironis, bakat besar tersebut justru diturunkan langsung dari ayahnya yang juga pelukis.



Tahun 1932 dengan mengikuti sebuah ekspedisi melalui perjalanan laut, Le Mayeur menginjakkan kaki di Singaraja. Sebuah kota pelabuhan laut di pesisir pantai utara yang  dulunya merupakan ibukota provinsi Bali. Pulau yang selama ini hanya dikenalnya melalui film, kini benar-benar dijejaki dan ia merasakan tempat ini adalah obsesi yang dicari. Denpasar adalah tempat yang kemudian dituju untuk memulai petualangan baru. Ia menetap di sebuah rumah kontrakan sederhana di Banjar Kelandis, pinggiran kota Denpasar.


Seorang penari Legong Keraton berusia 15 tahun yang sering tampil di Pura Dalem Prajurit Desa Kelandis sangat menarik perhatian Le Mayeur. Kecantikan khas Bali, tubuh tinggi semampai, berwajah lonjong, lesung pipit di pipi, dan terampil dalam olah seni tari menggguncang jiwa dan merenguh hati sang musafir. Ni Nyoman Pollok atau Ni Pollok demikian ia akrab dipanggil, anak desa kasta sudra yang tidak dapat membaca dan juga tidak mengenal Bahasa Indonesia tetapi memiliki anugerah talenta tari luar biasa. Gerak tari nan elegan memancing hasrat Le Mayeur untuk menjadikannya sebagai model lukisan. Upah Rp 1 (satu rupiah) per hari dibayar di muka oleh Le Mayeur kepada Ni Polok untuk masa sebulan penuh. Sebuah penghargaan bernilai tinggi untuk model lukisan pada masa itu.



Alam tropis Bali dan pribadi bersahaja Ni Pollok mampu menjadi stimulan dari semua karya-karya Le Mayeur. Ia melukis dan terus melukis bersama sang model. Mengabdikan segala hidup untuk menggambarkan alam Bali dengan budaya yang berkarakter berikut aneka flora kaya warna serta pantai dan laut yang berkilau ditimpa sinar mentari. Rekaman imajinasi impresionis yang tak terhingga menjadikan lukisan-lukisan Le Mayeur memiliki kekuatan goresan kuas, warna-warna cerah, komposisi terbuka, penekanan pada kualitas pencahayaan, dan subyek lukisan yang tidak terlalu menonjol serta memiliki sudut pandang yang tidak biasa.


Karya-karya Le Mayeur dipamerkan di Singapore tahun 1933 mencetak sukses besar dan mendapat apresiasi luas di kalangan seni. Ia kembali ke Bali dan melupakan rencana awalnya untuk tinggal di pulau ini hanya selama 8 bulan saja. Sepetak tanah di tepian pantai Sanur dibelinya dan dibangun sebuah rumah merangkap studio sederhana dari bambu beratap alang-alang menghadap laut lepas. Pantai Sanur kala itu masih sepi dan alami menjadi halaman yang luas bagi rumah pelukis kelahiran 9 Februari 1880 di Ixelles, Brussel, Belgia ini. Pohon nyiur, tanaman tropis, hamparan sawah, dan alang-alang sepanjang pantai seakan menjadi taman pribadi miliknya.

Le Mayeur dan Ni Pollok bekerja sepanjang hari selama bertahun-tahun di tepi pantai, di bawah nyiur, di tepi kolam teratai, atau di atas hamparan tanaman liar. Semuanya meraka kerjakan dengan kecintaan dan dedikasi tinggi. Di waktu sela Le Mayeur mulai mengenalkan Ni Pollok pada huruf dan angka di atas pasir dengan sebatang ranting sebagai alat tulis. Ia juga mengajarkan Bahasa Perancis dan Inggris kepada Ni Pollok, sekaligus memperlancar Bahasa Indonesia.


Tiga tahun berlalu, tahun 1935 diusia Le Mayeur 52 tahun dan Ni Pollok berusia 18 tahun, jalinan cinta kasih mereka dikukuhkan dalam sebuah perkawinan dengan adat Bali. Ni Pollok pun tetap menjadi model bagi lukisan Le Mayeur. Keunikan karya-karya Le Mayeur yang menampilkan Ni Pollok bersama beberapa wanita lainnya sebenarnya merupakan gambar dari Ni Pollok seorang yang tampilkan dalam berbagai pose berbeda. Sebagai seorang istri, Le Mayeur memberi kebebasan Ni Pollok untuk memilih lukisan mana yang ingin dikoleksi dan mana yang akan dijual. Lukisan-lukisan yang tidak dijual menjadi hiasan bagi rumah mereka.



Le Mayeur mencetak kesuksesan setiap kali melakukan pameran di Singapura. Semua hasil penjualan lukisan ia digunakan untuk memperindah rumah dan studionya. Ketekunannya bertahun-tahun melengkapi rumah itu dengan pintu, jendela, meja kursi, dan rak buku dari kayu jati berukir khas Bali menjadikan hunian yang lengkap dan indah. Sebuah meja tamu antik berbentuk persegi delapan lengkap dengan delapan buah kursi memerlukan waktu enam bulan pengerjaan. Ida Bagus Made Mas, seniman ukir kayu membutuhkan waktu hingga 20 tahun untuk menuntaskan semua pekerjaan. Le Mayeur memberi perhatian khusus pada halaman, taman bunga, dan kolam teratai dengan hiasan patung-patung togog khas Bali.
 

Kini, rumah sederhana itu telah menjadi hunian yang cantik, secantik pemandangan laut lepas di hadapannya. Kemasyuran Le Mayeur menarik minat pelukis-pelukis Eropa datang dan menetap di Bali. Banyak tamu asing berkunjung ke tempat Le Mayeur yang dikenal eksentrik sambil menikmati tarian Ni Pollok yang eksotik diiringi gamelan di atas pasir pantai. Nama Sanur Bali pun sohor ke penjuru dunia dan Presiden RI pertama Ir. Sukarno mendirikan Bali Beach Hotel (kini bernama Grand Bali Beach Hotel) sebagai hotel internasional pertama di Bali untuk wisatawan manca negara yang berdekatan dengan tempat tinggal Le Mayeur dan Ni Pollok.

Di antara kebahagiaan, kesenangan, dan kemudahan hidup yang dijalani Ni Pollok, satu keinginannya untuk memiliki keturunan sangat memberatkan hatinya. “Kalau Pollok mengandung anak, tubuhmu nanti akan berubah dan jelek. Pollok tidak bisa lagi menjadi model. Biarlah kita korbankan seluruh hidup kita untuk seni, Pollok ....” demikian kata Le Mayeur kepada istri terkasih, seperti yang tertulis dalam buku ‘Ni Pollok : Model dari Desa Kelandis’ ditulis oleh Yati Maryati Wiharja (1976). Pengorbanan besar mereka untuk dunia seni lukis menjadikan lukisan Le Mayeur saat ini menjadi salah satu master piece dengan nilai mendekati US $ 1.000.000,- Bahkan balai lelang Christie's mengestimasikan nilai US $ 1.1200.000 s.d 1.282.100,- untuk sebuah lukisan asli Le Mayeur berukuran 200x150 cm Nilai yang sangat layak untuk sebuah karya besar berlandaskan kekuatan cinta dan pengorbanan mendalam.


Pada tahun 1958, Le Mayeur didiagnosa menderita kanker telinga dan meninggalkan Bali ditemani oleh Ni Pollok untuk mendapatkan perawatan medis di Belgia. Setelah 2 bulan dirawat, Le Mayeur meninggal dunia pada usia 78 tahun dan dimakamkan di Ixelles, Brussel. Sepeninggal Le Mayeur, Ni Pollok kembali lagi ke Sanur dengan berbekal uang Rp 150.000,- untuk memperjuangan hidupnya sendiri dan merawat museum Le Mayeur yang telah diserahkan ke Pemerintah RI pada tanggal 28 Agustus 1957. Menurut perjanjian selama Ni Pollok masih hidup, dia berhak atas pendapatan museum itu walau dengan bantuan dana yang sangat minim dari pemerintah. 
 

Ni Pollok melanjutkan hidupnya dengan membangun rumah tinggal kecil di Denpasar pengganti rumah lama yang sudah jadi museum. Setengah dari luas tanah tersebut tetap menjadi milik keluarga Ni Pollok dan didirikan sebuah penginapan bernama 'Pollok Inn'. Sedangkan di area museum didirikan 'Pollok's Art Shop' yang kini menjadi salah satu sumber penghidupan keluarganya. Ia membuatkan patung setengah badan Le Mayeur sebagai dedikasi cintanya kepada sang suami. Patung ini kemudian berdampingan dengan patung dirinya dikala Ni Pollok telah meninggal dunia.




Ni Pollok berkesempatan mengangkat derajat ekonomi keluarganya yang papa dengan merawat anak-anak kakaknya, hal yang sempat dilarang oleh sang suami. Di masa tuanya, Ni Pollok sering mengunjungi lukisan dan barang-barang Le Mayeur yang telah dimiliki para kolektor di berbagai tempat. Dengan cintanya yang demikian mendalam, Ni Pollok setia merawat lukisan dan benda-benda tersebut hingga akhir hidupnya. Ia meninggal dunia di Denpasar pada tanggal 18 Juli 1985 dalam usia 68 tahun. 



Kini, museum Le Mayeur di tepian pantai Sanur, Denpasar - Bali menjadi saksi yang akan bercerita tentang warna warni kisah cinta dan perjalanan hidup kedua insan nan abadi.



* Artikel dan foto-foto disarikan dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar