Kamis, 22 April 2010

KARTINI : Visi & Semangat Wanita Indonesia Masa Depan



Lahir di masa yang tidak berpihak kepada wanita, ketidakadilan menjadi sebuah kelaziman yang harus diterima tanpa pernah ada sebuah perlawanan. Hadir di Mayong, Jepara, 21 April 1879 dengan nama R.A. Kartini dan berada di lingkungan priyayi (bangsawan kelas atas Jawa) tidaklah memberi ia sebuah ruang untuk menikmati kebebasan. Hanya sampai usia ke-12, ia harus tinggal di balik tembok rumah sebagai gadis  pingitan. Jiwa yang masih haus kebebasan menjelajahi masa kanak-kanak dengan sekolah dan bermain akhirnya harus takluk dengan adat istiadat.

Semangat Kartini ternyata tidak terbendung oleh tembok yang menjulang atau sebuah adat yang tidak pernah kompromi. Visinya terlalu luas bagai samudra yang tidak terbatas, bagai langit yang tiada berujung. Dan, kemampuannya berbahasa Belanda menjadi jembatan menyampaikan segala ‘uneg-uneg’-nya terhadap segala ketimpangan yang menyudutkan kaumnya.

Api perjuangannya mendapat support dari sahabat-sahabatnya di negeri asing. Rosa Abendanon, warga Nederland yang menjadi sahabat korespodensinya gigih memberi dukungan. Dalam suratnya, Kartini tidak saja memberi perhatian pada emansipasi wanita, tapi juga pada masalah sosial masyarakat di sekitarnya. Ia ingin menyuarakan perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan yang layak. Perjuangan ini pada akhirnya menjadi landasan dari gerakan yang lebih luas.

Tetapi, 17 September 1904 Kartini harus menghadap Sang Pencipta setelah melahirkan anak pertama dan terakhirnya pada usia 25 tahun. Sangat singkat, tetapi di usia belianya, Kartini telah memberi visi dan inspirasi semangat jutaan wanita Indonesia untuk terus berkarya tanpa melupakan kodrat hakikinya sebagai seorang wanita.

Surat-surat Kartini yang pernah dikirimkannya kepada sahabat-sahabatnya di Eropa dikumpulkan oleh Mr. J.H. Abendanon dan diterbitkan sebuah buku tahun 1911. Buku tersebut diberi judul ”Door Duisternis tot Licht”  arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".  Tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul ”Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran”  diterjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, diterbitkan buku  ”Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru.

Kartini tiada, tetapi visi dan semangatnya tidak jua meredup. Bahkan terus berkemilau menembus ruang dan waktu, seterang wanita-wanita Indonesia dalam berkarya untuk kaum, masyarakat, dan kejayaan ibu pertiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar